Jumat, 15 Maret 2019

Menjaga Kewarasan

Saat ini...menjaga pikiran agar tetap waras...mungkin adalah salah satu hal yang sulit untuk dilakukan.
Yah...setidaknya untuk saya pribadi ya...😬
Sungguh...
Setelah saya pertimbangkan, kemungkinan karena kita dan lingkungan sekitar kita suka memandang sesuatu dari sisi negatifnya.
Itu salah satu hal lho ya, bukan segalanya.
Selain itu, tentu saja ada faktor lingkungan, tuntutan lingkungan, depresi dan beban kerja, dan banyak hal lain.
Apa lagi?
Googling deh...jangan manja πŸ™„
Banyaaak sekali yang masuk kategori penyebab berkurangnya tingkat kewarasan seseorang.
Saya pribadi sedang tertarik dengan ide berpikir negatif yang bisa mempengaruhi hati dan otak untuk tetap berada di jalan yang diridhoi oleh-Nya. πŸ™
Beneran deh...berpikir dan berprasangka negatif...itu bisa merusak hati, tubuh dan pikiran. Secara brutal.
Tapi kenapa orang suka berprasangka/berpikir negatif?
Saya rasa...ini lebih ke sensasinya ya...
Kenegatifan kita dalam menilai sesuatu...akan mendatangkan sensasi yang gimanaaa gitu...
Asumsi kita yang belum tentu benar, akan menarik untuk dibicarakan dan dibagi.
Ya kan?
Kalau dengan asumsi positif...ya sudah, titik aja. Tidak ada bahasan.
Titik.
Selesai.
No sensasi.
Habis itu? Ya sudah.
πŸ€”πŸ€”πŸ€”
Nah...lempeng yah?
Kurang gregetπŸ˜†πŸ˜†
Tapi, prasangka negatif, berpikiran negatif...jujur saja membawa efek yang kurang baik untuk kita.
Hati tak tenang, pikiran resah, tubuh lelah.
πŸ™ƒπŸ™ƒ
Bagaimana mungkin tetap waras.
Menjaga agar tetap waras...
Ah...memang tidak terlalu mudah...
Tapi bukan tidak mungkin.
Apakah saya orang yang berpikiran postif?
Saya berusaha...
Walau mungkin belum terlalu berhasil 😒😒
Karena itu di awal sudah saya katakan...
Saat ini, tak mudah bagi saya untuk menjga agar pikiran saya tetap berada pada jalur kewarasan. πŸ™
Setidaknya saya sadar ya, bahwa saya perlu memperbaiki manajemen hati dan pikiran saya.
Template-nya harus sedikit di atur ulang.
Hmmm...sepertinya saya ingin melakukan penelitian tentang ini. πŸ€”πŸ€”
Mulainya dari mana ya?
Mungkin...dari memposting tulisan ini. 😊😊
Yuk lah...

Senin, 03 Juli 2017

Wanita dan Ribuan Lukanya

Wanita dan ribuan lukanya...tak melemahkan langkahnya.
Jika kucing memiliki 9 nyawa...maka wanita memiliki kekuatan tak terhingga untuk menyimpan, menutupi dan menyembuhkan sendiri lukanya...
Dia memiliki kekuatan tak terhingga untuk menahan sakit.
Mempunyai kemampuan mengagumkan untuk bersandiwara...menutupi luka dengan senyum di wajah...
Wanita dan tanggung jawabnya, yang entah siapa menuliskannya...
Bertanggung jawab atas kerukunan sebuah keluarga, kelengkapan sebuah keluarga, kekuatan ekonomi sebuah keluarga, keseimbagan gizi, kelengkapan fasilitas rumah tangga, prestasi suami dan anak2, dan seterusnya dan seterusnya...
Wanita-lah yang salah saat terjadi ketidakseimbangan, saat ada prestasi...adakah yang mengingatmu wahai wanita?
Ah..wanita dan lukanya...
Mungkinkah itu sebabnya dikatakan surga ada di telapak kakimu?
Jika iya...kebanyakan dari kami akan memilih untuk tidak menyimpan surga itu di telapak kaki kami...
Wanita dan air matanya...adalah gambaran luka hatinya...
Aku wanita...dan aku menyimpan banyak luka...

Senin, 21 November 2016

Tentang Prinsip...

Saya selalu mengagumi ayah saya.
Beliau mungkin bukan tokoh heroik negara, atau seorang penemu yang membawa pengaruh besar bagi umat manusia.
Tapi, pola pikir dan cara beliau menyayangi keluarga-nya...mengagumkan.
Perlu dirinci? Enggak ah...biarlah itu hanya kami rasakan...tak perlu dirinci...
Tak indah lagi...
Dibalik kekakuan beliau, rasa kasihnya dan kepasrahan-nya benar2 top.
Pagi ini, satu lagi perkataan beliau yang membuat saya tersentuh...
Tentang usaha yang akan dijalankan...
Sewaktu saya mengatakan, jangan pandang saudara dulu, untuk sementara kasi harga normalnya aja...
Kenapa saya berkata begitu? Karena secara materi saat ini beliau pas-pasan banget.
Cenderung kurang malah.
Tapi dengan santainya beliau berkata... "Tujuan bapak kan nolong keluarga, bukannya nyari untung"
Saya tersentuh...
Ah...secara materi mungkin beliau memang menengah kebawah, tapi hatinya...duh...seluas samudra.
Yah, mungkin itu yang menyebabkan beliau ƍäª pernah merasa kekurangan.
Dan ga pernah merasa susah.
Karena banyak cinta yang beliau terima...
Kita memang tak bisa makan cinta...tak bisa membeli apapun dengan kasih...
Tapi kebahagiaan yang nyata...uang juga tak bisa membelinya...
Mungkin begitu...
Ah...sehat selalu ya pa...

By Mahitri W

Minggu, 20 November 2016

Statusmu...

Ah...statusmu...
Status-mu di media sosial..
Begitu panjang...begitu rinci...
Menceritakan pengalaman kejeduk pintu dan rasa sakitnya...
Menceritakan obrolanmu...
Menceritakan betemu...
Begitu terperinci...
Lalu...lihat...kenapa juga saya berkomentar?
:D
Ahya...mungkin saya rese'
Bisa juga iri...karena saya tidak pernah membuat status seperti itu...
Bahkan seringkali lupa ganti status...
Mungkin kalian pernah heran melihat status saya yang selama 3 hari ada di kebun binatang...
Karena itu saya malas merinci status...
Karena saya pelupa...
Tapi tolong kawan, jangan pernah membuat status bahwa kalian sedang sendirian di rumah atau di tempat tertentu...itu semacam memancing niatan seseorang...
Niat apa? Yah, pikirkanlah...
Jangan pula jadikan media sosial sebagai tempat sampah amarahmu...
Well...jarimu, yang menekan tombol 'send', adalah harimau-mu...
Please, be wise...

By Mahitri W

Sabtu, 19 November 2016

Keluarga Besar

Setiap dimulainya tahun ajaran baru, ketika mulai mengajar di kelas x, saya selalu mengingatkan siswa2 saya bahwa kita semua adalah keluarga besar. Sekelompok orang yang mempunyai tali persaudaraan sebagai anggota dari sebuah sekolah.
Dan khusus untuk anak wali saya, saya mengingatkan bahwa kita adalah keluarga inti. Harus ada rasa sayang, saling peduli dan saling mengingatkan. Jika tidak bisa diberitau, maka hubungi saya sebagai orangtua.
Sayapun merasa bahwa seluruh siswa saya adalah anak2 saya. Dan untuk anak wali saya, mereka adalah anak2 terdekat saya. Karna itu, sebisa mungkin saya selalu meng-update berita terbaru ttg mereka.
Mungkin saya masuk dalam kelompok wali kelas yang sering mondar-mandir masuk ke kelas wali. Memang bukan saya saja, ada banyak teman guru yang seperti itu juga.
Lalu...
Apa ini terjadi setelah saya menjadi guru?
Saya rasa tidak...di rumah saya cukup dekat dengan semua keponakan dan anak2 disekitar rumah.
Entah kenapa, saya mudah akrab dengan anak2.
Bukan hanya anak2. Tapi saya juga termasuk kategori orang yang mudah menjalin pertemanan dengan siapa saja.
Mungkin karena saya dibesarkan di papua, pada masa dimana hiburan itu sesuatu yang tidak mudah dijangkau. Dimana pertemanan adalah sesuatu yang mudah didapat, dan sekaligus paling berharga yang bisa kita miliki. Bahwa pertemanan baik dengan sesama pendatang ataupun putra daerah adalah hiburan terbaik yang bisa kita miliki.
Sebuah anugerah besar bagi saya, karna saya tumbuh besar di papua pada masa itu, dimana perbedaan bukanlah masalah besar. Bahwa hari lebaran, natal dan nyepi adalah hari raya kita semua. Bahwa itu kesempatan silaturahmi sekaligus makan gratis :)
Bagi kami, anak2 papua.
Bukan karena kami kekurangan makanan, tapi lebih karena kebahagiaan bisa pergi bersama teman2, silaturahmi ke. Semua teman dan guru atau kenalan.
Begitu menyenangkan.
Beruntung pula, bahwa setelah meninggalkan papua, saya tetap tumbuh di lingkungan yang heterogen. Tetap berkomunikasi intens dengan semua teman, dan dukungan komunikasi dengan orangtua yang juga terbiasa hidup dalam lingkungan yang heterogen pula.
For me...it's a gift.
Maka itu ada rasa sedih ketika beberapa teman yang tumbuh bersama, mendadak menjadi sarkatis. Ketika media sosial merubah mereka menjadi hakim.
Saya juga mengikuti berita, saya pun mempunya pandangan.
Tapi itu tidak membuat saya membenci yang berseberangan, dan menyebar fitnah.
Seperti juga dalam satu sekolah, kita adalah keluarga besar, maka dalam satu negara, bukankah kita juga keluarga besar?
Mengingatkan yang salah, harus.
Memberi teguran bahkan memberi hukuman pun boleh.
Tapi haruskah kita saling membenci?
Entahlah...saya tidak ingin menjadi sok bijak karena hidup saya sendiri belum lempeng.
Yah, lebih baik kita banyak2 melihat atau menonton humor. Humor yang seger, bukan yang garing atau menjual paha dan dada.
Agar pikiran fresh dan otot wajah jadi lebih rileks.
Atau...cuti media sosial saya lebih diperpanjang... :D
Fokus pada anak2 bangsa di rumah dan di sekolah, ohya dan di lingkungan saya.
Jadi pelawak bagi mereka, dan membuat mereka tersenyum bahkan tertawa.
Membuat saya selalu dirindukan.
Dan...jika butuh perawatan wajah, saya selalu diingat... #ehh...
​ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ"̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ"̮
By Mahitri W

Senin, 25 Juli 2016

Penjurusan di SMA, tentang keinginan dan kenyataan.

Saya tertarik sekaligus tergelitik ketika membaca tulisan mb Deassy M Destiani yang berjudul "MAU TANTANGAN ATAU KEMUDAHAN" di wall halaman beliau.
Intinya tulisan ini memaparkan, betapa secara tidak disadari, insting "melindungi" orang tua terhadap anaknya justru membuat kita mengantarkan anak2 menjadi mandiri yang kurang tangguh dan kurang berani menghadapi tantangan...
Tulisan yang "keren" menurut saya, layak dibaca oleh kita selaku orang tua.
Kadang, kita memang harus merasakan kesusahan untuk dapat berpikir cepat saat menghadapi masalah, berpikir untuk mencari jalan keluar, ya...bukan berpikir untuk lari dan menjauh dari masalah.
Apa yang membuat saya tergelitik dengan tulisan tersebut?
Ada hal yang terjadi di sekitar saya, yang membuat saya sadar bahwa saat itu, beberapa orangtua siswa saya sedang melemahkan mental anak2nya...
Jadi, sebagai sekolah yang masih menerapkan kurikulum KTSP, maka penjurusan ditetapkan pada tahun kedua, atau saat siswa naik ke kelas XI.
Proses penjurusan ini sendiri, tentu ditetapkan berdasarkan beberapa kriteria. Terutama adalah nilai, hasil psikotest di awal kelas X, dan beberapa faktor lain.
Sebagai guru, saya sudah pernah menekankan hal tersebut kepada siswa saya. Bahwa, kadang memang ada keinginan kita untuk memilih jurusan tertentu...tapi pada akhirnya, kriteria2 tersebut yang akan menuntun kita ke jurusan yang memang sebaiknya diambil. Bahkan saya sudah menekankan bahwa, saat itu terjadi, percayalah bahwa itulah jalan yang harus kita lewati. Jalani dan percayalah bahwa jika kita mau berusaha, pasti selalu ada hasil yang baik.
Maka, proses pengisian formulir, proses perankingan dan penyesuaian pun dimulai. Bukan kerja yang mudah bagi 3 guru BK kami...
Kehebohan pun dimulai saat pengumuman keluar. Ada siswa yang berbahagia, ada yang kecewa karena belum sesuai jurusan yang diinginkan.
Beberapa menghubungi saya dan meminta untuk dipindahkan. Tentu saya menolaknya. Bukan karena saya tidak mau membantu, tetapi mengingat kerja panjang rekan-rekan saya di BK, saya jelas menolak dengan halus. Saya membantu anak2 ini dengan memberi semangat, dan, saya memang sudah berjanji akan membantu mereka mempelajari materi ekonomi yang kadang menjadi momok bagi mereka.
Kenapa Ekonomi? Karena kebanyakan dari siswa ini memilih jurusan bahasa, namun ternyata sebagian dianggap lebih sesuai ditempatkan pada jurusan IPS. Setelah proses ngobrol yang panjang dengan mereka ini, akhirnya mereka menyatakan siap "berjuang" di jurusan IPS. Dan tentu saya akan pegang teguh janji saya untuk membantu mereka saat belajar. Saat belajar ya, bukan membantu nilai, karna toh saya tidak mengajar di kelas XI.
Jujur ada beberapa siswa dengan alasan tertentu yang memang saya rekomendasikan untuk ke jurusan tertentu, bukan dengan iming2 hadiah atau sejenisnya ya, tentu berdasarkan nilai dan kesesuaian. Itupun saya lakukan sebelum proses penilaian oleh BK berjalan. Dan, dari 5 siswa, hanya 3 yang memang bisa dibantu, 2 lainnya karena tidak bisa ditoleransi, maka tidak bisa mendapat jurusan yang mereka tuju.
Saya salut pada salah satu siswa yang "meleset" ini. Dengan tenangnya dia berkata bahwa dia siap dan akan melakukan yang terbaik disini...
Saya salut sewaktu siswa ini berkata, "saya percaya bu, ini jalan saya dan ini juga yang akan mengantarkan saya mencapai cita-cita" wow...you're the best, girl...pikir saya saat itu ( ื▿ ืΚƒΖͺ)
Namun ada juga yang membuat saya sedih.
Seorang ortu siswa menghubungi saya, menginginkan anaknya dipindahkan jurusannya. Hal yang tidak mungkin untuk dilakukan, mengingat jika satu anak dipindahkan, bagaimana respon siswa lainnya?
Pun saya sudah menjelaskan, saya hanya guru biasa yang menghargai hasil kerja panjang dan jujur memang berat, yang dilakukan oleh para guru BK.
Dengan hati2 sudah saya jelaskan bahwa jika target siswa adalah bidang pariwisata, maka melalui jurusan manapun, bisa diambil, tidak melulu dari jurusan bahasa.
Saya benar-benar berharap siswa2 saya mempunyai mental pejuang. Bahwa tantangan apapun akan dijalani. Jangan terus ngambek dan merajuk.
Hidup tidak berhenti saat mengambil jurusan di SMA. Tantangan akan semakin berat, dimanapun kita melangkah.
Lalu apa yang terjadi?
Siswa tersebut dan 1 siswa lainnya menyatakan diri pindah ke sekolah lain, yang bisa memberikan mereka jurusan yang diinginkan.
Saya sedih.
Bukan karena sekedar kehilangan siswa. Tapi hal terbesar yang mengganggu saya adalah...secara tak sadar, ortu-nya sedang melindungi anaknya yang merajuk tsb, dengan pemikiran bahwa ortu akan selalu meluluskan keinginan mereka, bahwa saat ada hal yang tidak sesuai keinginan mereka, pergi saja dan tinggalkan tantangan itu.
Ah...tidakkah mereka berpikir bahwa, terkadang, kegagalan, kenyataan yang meleset dari target, kesedihan dan kesusahan, mungkin adalah jalan menuju keberhasilan kita yang sebenarnya?
Bahwa terkadang hidup memang tidak seindah impian, namun harus tetap dilewati.
Bahwa sebagai manusia, otak dan hati harus sejalan dan harus sama tangguhnya untuk bisa bertahan dan menjadi pemenang yang sesungguhnya?
Dan begitulah...
Saya, selaku guru dan juga orang tua...hanya bisa berdoa untuk kebaikan anak2 saya.
Jika saya berjanji membantu mereka dalam belajar, akan saya tepati itu.
Rumah saya selalu terbuka untuk anak2 yang ingin belajar.
Namun proses pembelajaran, bukan hanya antara siswa dan guru di sekolah.
Orang tua pun harus membantu dalam pelatihan mental anak-anak.
Biarkan sesekali anak itu kecewa. Disitulah gunanya kita. Mendukung mereka. Bukan untuk lari tapi untuk berjuang. Kecuali jika hal tersebut memang pantas untuk ditinggalkan. Analisa dan dukungan orangtua selalu diperlukan oleh anak-anak.
Jadi...pilihan ada pada kita...
Mau Tantangan Atau Kemudahan?
By Mahitri W

Senin, 04 Juli 2016

Ketika Rasa tak Bisa jadi Kata...

Kadang, ada satu waktu dimana ada rasa yang tidak bisa saya jelaskan, rasa apakah itu...
Ada waktu dimana saya merasakan sesuatu yang mengganjal, tapi saya tidak bisa jelaskan itu apa...karena memang saya sendiri tidak tahu rasa apakah itu...
Mungkin, ada sesuatu yang mengganggu tapi alam sadar saya tidak bisa mendeskripsikan apakah itu...
Kadangkala juga, saya tahu itu apa dan mengapa...tapi tidak bisa saya bagikan karena itu akan mengganggu.
Mengganggu siapa? Mengganggu banyak orang dan kestabilan.
Duh, bahasanya... (⌣́_⌣̀)
Kadangkala juga, keinginan untuk menyenangkan orang lain, membuat saya seperti terjebak dalam sebuah labirin yang tak berujung.
Yang saya sadar betul, labirin tak jelas itu, saya sendiri yang menciptakannya...
Jadi, apa makna dari goresan kata2 saya saat ini?
Nah...itulah, ketika ada rasa yang tidak bisa saya jadikan kata...
Maka sebuah tulisan yang tanpa makna seperti inilah yang berhasil saya ciptakan...
Ah...saya mungkin hanya merindukan catatan harian saya ini.
Yang lama tak saya kunjungi...
Yang lama tak saya tulisi...
Terlalu banyak ide, rasa, impian dan hasrat yang berputar2 di kepala dan hati saya.
Membuat saya jadi tersesat dalam labirin karya saya sendiri.
Saya hanya ingin jadi sesederhana dulu...
Jika ada yang mengganggu dan mengganjal...cukup tuliskan...
Maka akan sedikit mengurangi beban hati saya.
Titik.
Yah...saya memang merindukanmu, catatanku...
Saya memang harus mengeluarkan "sampah otak" untuk didaur ulang di catatan ini...
Menulis dan berbahagia... :)
Svaha...



By Mahitri W